Tujuan kesembilan: Mendalami ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Di antara tujuan penting ibadah haji adalah mendalami ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, kita akan dapati para jemaah haji sangat bersemangat dalam haji mereka untuk menjadikan setiap amalan mereka sesuai dengan sunah nabinya. Mereka berusaha bertanya kepada ahli ilmu tentang haji mereka, “Apakah jika saya mengerjakan ini boleh?” “Apakah hal ini benar?” “Apakah ini sudah sesuai dengan sunah?” Para jemaah haji sangat semangat sekali untuk melakukan amalan dalam haji mereka dan berusaha menyesuaikan dengan petunjuk sunah. Kita semua mengetahui perkataan Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam hadis Jabir yang terdapat di Shahih Muslim,
لِتَأْخُذُوا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ
“Hendaklah kalian mengambil manasik haji kalian dariku.“ (HR. Muslim no. 1297)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan hal ini saat beliau sedang berhaji. Jemaah haji pun bersemangat dalam perkara perintah agar bisa menunaikannya, demikian pula bersemangat dalam perkara larangan agar bisa meninggalkan dan menjauhinya. Mereka bertanya dengan detail dan berusaha mencari dengan penuh kejujuran agar amal mereka bersesuaian dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Perhatikan perkataan ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu ketika beliau mencium hajar aswad,
إِنِّى لأُقَبِّلُكَ وَأَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ وَلَوْلاَ أَنِّى رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُقَبِّلُكَ لَمْ أُقَبِّلْكَ
“Sesungguhnya aku menciummu dan aku tahu bahwa engkau hanyalah batu. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menciummu, maka tentu aku tidak akan menciummu.” (HR. Bukhari no. 1597 dan Muslim no. 1270)
Demikain pula Ya’la bin Umayyah radhiyallahu ‘anhu berkata,
طُفتُ معَ عمرَ بنِ الخطَّابِ فاستلمَ الرُّكنَ ، قالَ يَعلى : فَكُنتُ مِمَّا يلي البيتَ ، فلمَّا بلغتُ الرُّكنَ الغربيَّ الَّذي يلي الأسودَ ، جرَرتُ بيدِهِ ليستلمَ ، فقالَ : ما شأنُكَ ؟ فقلتُ : ألا تَستلِمُ ؟ قالَ : ألَم تَطُفْ معَ رسولِ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ ؟ فَقلتُ : بلَى ، فقالَ : أفرأيتَهُ يستلمُ هذينِ الرُّكنينِ الغربيَّينِ ؟ فقلتُ : لا ، قالَ : أفليسَ لَكَ فيهِ أسوةٌ حسنةٌ ؟ قالَ : قُلتُ : بلى ، قالَ : فانفُذْ عنكَ
“Aku tawaf bersama ‘Umar bin Khaththab, dia mengusap rukun (sudut) hajar Aswad. Ya’la berkata, “Ketika aku di dekat Baitullah, tatkala sampai di rukun setelah hajar Aswad, aku menarik tangan ‘Umar agar ia dapat mengusapnya.” ‘Umar berkata, “Ada apa denganmu?” Aku berkata, “Mengapa kamu tidak menyentuhnya?” ‘Umar berkata, “Bukankah kamu telah tawaf bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Saya bilang, “Ya.” ‘Umar berkata, “Apakah kamu melihat beliau menyentuh dua rukun di sisi barat ini?” Aku menjawab, “Tidak.” ‘Umar berkata, “Apakah tidak ada suri teladan yang baik bagimu pada diri beliau?” Saya berkata, “Tentu.” ‘Umar berkata, “Kalau begitu tinggalkanlah.“ (Musnad Imam Ahmad no. 313)
Maksudnya, janganlah melakukan suatu amal apapun kecuali amalan yang sesuai dengan sunah Nabi.
Oleh karena itu, di antara tujuan yang agung dan faidah penting yang didapatkan seorang muslim dalam hajinya adalah bersemangat dalam setiap kehidupannya agar seluruh ibadahnya bersesuaian dengan syariat Allah. Dia hendaknya merenung dan berkata kepada dirinya, “Sebagaimana aku ketika haji di Baitullah mempelajari sunah, bertanya tentangnya, dan mempelajari petunjuk Nabi, maka demikian pula aku akan melakukan hal demikian dalam seluruh ketaatanku dan seluruh ibadahku.”
Dengan demikian, dia akan senantia mempelajari sunah Nabi dalam salatnya, dalam puasanya, dan dalam setiap ibadah kepada Allah. Dia juga akan wasapada dari hawa nafsu dan bid’ah, yaitu amalan yang tidak Allah turunkan ilmu tentangnya.
Sebagian manusia tumbuh di lingkungan masyarakat yang banyak bid’ahnya dan terbiasa dengannya. Namun semestinya dia bisa mengambil faidah dari ibadah hajinya. Ketika haji, dia bisa hati-hati dari perbuatan bid’ah dan semangat mengerjakanya di atas sunah. Maka hendaknya dia juga bersemangat di atas hal tersebut dalam seluruh amal ibadah lainnya. Buah manis hajinya menyebabkan dia mendapat petunjuk Nabi dan mengikuti jalannya yang lurus serta waspada dari semua jenis perbuatan bid’ah.
Tujuan kesepuluh: Menyelisihi amal dan kesesatan kaum musyrikin
Di antara tujuan haji adalah menyelisihi musyrikin dalam hal amal dan kesesatan mereka serta dalam perkara jahiliyah dan kebatilan yang mereka lakukan. Kita saksikan bahwasanya Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelisihi kaum musyrikin dalam amal-amal haji. Kaum musyrikin berhaji dan bertalbiyah, wukuf di Arafah, dan wukuf di Muzdalifah; akan tetapi mereka melakukannya di atas kesesatan, kedunguan, dan kebodohan. Talbiyah yang mereka ucapkan dibangun di atas kesyirikan. Ucapan talbiyah mereka adalah,
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ إِلَّا شَرِيكًا هُوَ لَكَ، تَمْلِكُهُ وَمَا مَلَكَ
“Aku sambut panggilan-Mu ya Allah, Aku sambut panggilan-Mu. Aku sambut panggilan-Mu dan tiada sekutu bagi-Mu, kecuali sekutu yang menjadi milik-Mu. Sekutu yang Kamu miliki dan dia tidak memiliki.”
Mereka mengucapkan kesyirikan dalam talbiyah mereka dan mengambil tandingan-tandingan selain Allah. Inilah makna perkataan Allah ketika menjelaskan kondisi mereka,
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللّهِ إِلاَّ وَهُم مُّشْرِكُونَ
“Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sesembahan-sesembahan lain).” (QS. Yusuf: 106)
فَلاَ تَجْعَلُواْ لِلّهِ أَندَاداً وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Karena itu, janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.“ (QS. Al-Baqarah: 22)
Sehingga untuk menyelisihi mereka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertalbiyah dengan tauhid.
Orang-orang musyrik dahulu ketika berhaji, mereka berpindah dari Arafah sebelum terbenamnya matahari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyelisihi mereka dan menjadikan perpindahan dari Arafah setelah magrib. Mereka meninggalkan Muzdalifah setelah terbitnya matahari, maka Rasulullah pun menyelisihi mereka dan pergi dari Muzdalifah ketika pagi sudah menguning dan sebelum terbitnya matahari dalam rangka menyelisihi perbuatan orang-orang musyrikin.
Orang-orang musyrik tidak melakukan umrah di bulan-bulan haji, bahkan menganggap menunaikannya di bulan-bulan tersebut merupakan perbuatan yang paling fajir. Nabi shallalllahu ‘alaihi wa sallam pun menyelisihi mereka dan menunaikan seluruh umrah beliau di bulan-bulan haji.
Amal-amal haji dan ketaatan yang dikerjakan oleh kaum muslimin selayaknya bersih dari kesesatan orang-orang jahiliyah dan ahlu bathil. Ketika Nabi berkhotbah di hadapan manusia, beliau berkata,
ألا كلُّ شيء من أمر الجاهلية تحت قدمي موضوع، ودماءُ الجاهلية موضوعة، وإن أولَ دم أضع من دمائنا دمُ ابنِ ربيعةَ بنِ الحارثِ كان مسترضعاً في بني سعد فقتلته هذيل، وربا الجاهلية موضوع، وأول رباً أضع ربانا ربا عباس بن عبد المطلب، فإنه موضوع كلّه
“Ketahuilah bahwa segala perkara jahiliyah sudah batal, begitu pula tuntutan darah pada masa jahiliyah sudah dihapuskan. Tuntutan darah pertama yang Rasulullah batalkan adalah darah Ibnu Rabi’ah ibnul Harits. Dia disusui oleh Bani Sa’d, lalu Hudhayl membunuhnya. Riba jahiliyah sudah tidak berlaku sekarang. Riba pertama yang dihapuskan adalah riba Abbas bin Abdul Muththalib, maka semua ribanya batal.” (HR. Muslim no. 1218)
Di sini terdapat penjelasan mengenai kondisi yang menyedihkan dan kerusakan yang merata yang dilakukan oleh manusia sebelum datangnya Islam dalam ibadah dan muamalah mereka. Di antaranya berupa kesyirikan kepada Allah, pertumpahan darah, perampasan harta, kehormatan dilanggar, dan ketika itu sudah mencapai puncak kajahilan dan kesesatan. Dengan sebab itu semua, mereka mendapat kemurkaan Allah.
Hendaknya bagi setiap muslim untuk mengambil faidah dari ibadah hajinya untuk menyelisihi musuh-musuh agama Allah, merasa bangga dengan agamanya, dan perhatian dari tasyabuh dengan musuh-musuh Allah. Selayaknya kita mengetahui kedudukan nikmat ini dan menjaganya, dalam rangka memperbaiki diri dan juga masyarakat agar berjalan di atas jalan Islam yang lurus. Harus berhati-hati dari amal-amal jahiliyah serta kebodohan dan kesesatan para musuh Allah, agar mendapat rida dan rahmat Allah serta selamat dari murka-Nya. Nabi shallallahau ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَبْغَضُ النَّاسِ إِلَى الله ثَلَاثَةٌ: مُلْحِدٌ فِي الْحَرَمِ وَمُبْتَغٍ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ، وَمُطَّلِبُ دَمِ امْرِئٍ بِغَيْرِ حَقٍّ لِيُهَرِيقَ دَمَهُ
“Manusia yang paling dimurkai Allah adalah tiga golongan; orang yang melakukan penyimpangan di tanah haram, orang yang mencari-cari perilaku jahiliyah padahal telah masuk Islam, dan menumpahkan darah seseorang tanpa alasan yang dibenarkan.“ (HR. Bukhari no. 2886)
Termasuk musibah besar yang terjadi pada kebanyakan manusia, mereka terperdaya dalam beragama dan bersikap longgar dalam beragama. Yang demikian ini tampak di tengah-tengah mereka dari sisi meniru orang-orang kafir dan tasyabuh terhadap mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لدخلتموه
“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta. Sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob, pasti kalian pun akan memasukinya.” (HR. Bukhari no. 7320)
Nabi mengatakan demikian agar memperingatkan umatnya dengan peringatan keras dari mengekor perilaku jahiliyah dan jalan-jalan orang kafir dan musyrik. Lubang dhob berbeda dengan lubang hewan reptil lainnya. Lubang itu sangat berkelok-kelok di dalam tanah. Sehingga siapa pun yang ingin menggali untuk menangkapnya, dia tidak akan dapat menemukannya karena bentuknya yang berkelok-kelok.
Demikian pula orang-orang kafir, seandainya mereka melakukan tindakan kesesatan yang rumit dan berulang-ulang, maka akan ditemukan kaum muslimin yang beramal seperti mereka. Ini adalah informasi dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perkara kauni qadari yang Allah tetapkan dan akan terjadi. Di dalam informasi ini sekaligus terdapat peringatan, bahkan peringatan yang sangat keras, dari perbuatan tasyabuh. Beliau memberi kabar bahwa hal ini akan terjadi, karena Allah telah menetapkan dan terkandung di dalamnya peringatan dari hal tersebut. Hendaknya setiap kaum muslimin waspada dengan serius akan hal ini. Di dalam hadis disebutkan,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad no. 5115)
Wajib bagi setiap muslim untuk menyimak hadis ini dan hatinya menaruh perhatian serius dari taklid dan mengekor orang kafir serta tasyabuh dengan musuh-musuh agama Allah. Hal ini lebih ditekankan lagi di zaman sekarang ini, di mana terbuka bagi manusia untuk mengikuti kebiasaan orang-orang kafir. Kesempatan untuk mengekor dan meniru perbuatan mereka terbuka lebar. Rumah-rumah sudah gampang dimasuki dan menjadi sasaran budaya kafir.
Rumah-rumah muslim kini terekspos terhadap budaya kaum kafir, bahkan kerusakan mereka, melalui saluran satelit, saluran website, dan majalah yang merusak. Hal ini terjadi ketika pemikiran mulai menyimpang, akal menjadi rusak, kelonggaran dalam beragama, serta moralitas telah hancur. Akhirnya, manusia terjerumus dalam berbagai jenis tasyabuh terhadap musush-musush Allah, terutama kejadian yang meliputi para pemuda kaum muslimin. Mereka meniru orang-orang kafir disebabkan karena kebodohan dan jauhnya dari agama Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
ليأتين على الناس زمان قلوبهم قلوب الأعاجم
“Akan tiba saatnya hati orang-orang akan seperti hati orang asing.“ (Lihat dalam Silsilah Ash-Shahihah, no. 3357)
Yang dimaksud dengan orang-orang asing adalah para musuh agama Allah, baik dari Yahudi, Nasarani, dan yang lainnya. Akan datang pada manusia sebuah zaman di mana hati mereka menjadi hati orang asing disebabkan karena ketidakpahaman terhadap agama Allah dan meluasnya kebodohan. Jiwa ketika itu condong dengan sikap tasyabuh terhadap orang kafir dan mengekor amalan mereka, baik dalam perayaan, kebiasaan, maupun pakaian, dan yang lainnya karena kecintaan mereka terhadap dunia.
Ini merupakan kondisi yang sangat buruk. Seorang muslim hendaknya berlindung bagi dirinya sendiri dari hal tersebut. Semoga Allah melindungi kita semua dan menyelamatkan kita dari jalannya orang-orang yang Allah murkai dan jalannya orang-orang yang sesat.
[Bersambung]
Kembali ke bagian 5 Lanjut ke bagian 7
***
Penulis: Adika Mianoki
Artikel Muslim.or.id
Referensi:
Maqashidul Hajj, karya Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah.
Game Center
Game News
Review Film
Rumus Matematika
Anime Batch
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
review anime